Tulisan ini aku buat ketika masih menjalani masa karantina, harus melakukan isolasi mandiri karena terkonfirmasi positive Covid-19... Ya, dia menyapaku.
Aku termasuk orang yang percaya monster berukuran nano itu ada. Kita semuanya tau ada sebagian orang yang menganggap itu sebagai konspirasi entah, percaya berita2 hoax, dan kenyataannya, keluargaku sudah disapa si Covid-19 itu....
Selama ini kami sekeluarga selalu berusaha menjaga protokol kesehatan 4M, dengan selalu memakai masker saat beraktivitas di luar rumah, berusaha tetap menjaga jarak dengan orang lain secara fisik, rajin mencuci tangan (bahkan sebelum corona ada, aku sudah membiasakan hal ini), hand sanitizer selalu ada di tas atau saku, sampai berusaha membatasi diri dari kerumunan (acara2 dengan melibatkan banyak orang disana). Apalagi aku menyadari bahwa suamiku memiliki komorbid gagal ginjal yang kesehatannya rentan dan harus dijaga.
Hal itu senantiasa kami jaga sebagai ikhtiar, bukan melawan takdir. Memang, sesuatu yang sudah terjadi merupakan takdir, tetapi selama belum terjadi, kita harus ikhtiar dan berdoa kan, apapun hasilnya kita pasrahkan pada takdir Allah, Yang Maha Mengetahui yang terbaik.
Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana bisa terinfeksi Covid-19, karena aku sendiri tidak mengetahui secara pasti bagaimana dan kapan dia menyapa kami. Ya, kami, aku dan ayahku. Apa yang kami alami beberapa hari terakhir ini sungguh luar biasa sarat dengan hikmah untuk keluarga kami. Setidaknya dengan tulisan ini aku dapat berbagi pengalaman berharga...
Bahwa aku dan suamiku adalah bukti nyata kondisi dimana seorang pasien gagal ginjal (komorbid) yang negative Covid-19 ternyata masih bisa tetap tinggal serumah dengan seorang yang terkonfirmasi positive Covid-19 asal dengan menerapkan protokol kesehatan 3M secara disiplin. Kami tetap memakai masker, rajin mencuci tangan dan menjaga jarak. Itu artinya, setiap siapapun dari kita yang selalu menjaga protokol kesehatan 3M dimanapun kita berada diluar rumah, kita tidak akan tau siapa itu OTG (Orang Tanpa Gejala, yang mereka sendiripun banyak yang tidak menyadari bahwa mereka ternyata positive Covid-19) di sekitar kita, maka dengan tetap memakai masker, menjaga jarak dan rajin cuci tangan atau selalu membawa hand sanitizer, insha Allah memang dapat menjaga dan melindungi diri dari terpapar Covid-19. Dan pastinya ini akan mempercepat selesainya pandemi yang sangat melelahkan kita semuanya...
Waktu itu bermula saat ayahku merasa tidak enak badan, pusing dan demam, ibu memberitahu lewat grup whatsapp keluarga. Sebagai anak yang tinggal paling dekat dengan orang tua karena masih satu kota, pasti aku ingin menengok orangtuaku. Ketika aku, suami dan anakku sampai di rumah orangtuaku, alhamdulillah kami melihat ayah sudah terlihat lebih sehat daripada di foto. Kami sangat bersyukur lega, semoga memang sudah sehat. Namun, mendadak ibu malah yang mengeluh sakit perut. Aku tanya tentang makanan yang beliau makan hari itu, ternyata ibu pagi tidak sarapan dan siangnya hanya makan mie instant. Ibu memang selera makannya sedikit. Aku pikir ibu hanya kembung saja, aku berikan obat maag lalu aku kerokin badannya dan aku pijat dengan minyak kayu putih hangat, aku beri kehangatan pada perutnya dengan buli2 air panas. Ibu masih mengeluh sakit, dan tambah parah karena ibu muntah2. Ayah yang sudah merasa membaik ikut merawat ibu yang sakit. Paginya bahkan ayah yang mengantar ibu periksa di puskesmas dan alhamdulillah ibu membaik karena memang kembung.
Waktu itu kami masih menginap di rumah orangtuaku beberapa hari karena tidak tega melihat kedua orangtua yang sedang sakit bersamaan. Ternyata ayah masih belum pulih karena pusingnya selalu datang lagi dan masih mengeluh kedinginan, terutama setiap bangun tidur siang selalu sorenya mengeluh pusing. Ayah meminta aku untuk ngerokin badannya, lalu aku baluri dengan minyak kayu putih. Aku tawarkan ayahku untuk periksa ke dokter keluarga tempat aku dan keluarga kecilku berobat di dekat rumahku, dan ayah mau. Kami berangkat sore untuk berobat dan ayah mendapatkan antibiotik, vitamin dan obat penurun tensi karena waktu itu tensinya 165/90. Setiap pagi ayah dan ibu selalu aku ajak berjemur dan memakai masker dengan tissue terapi minyak kayu putih, hanya untuk antisipasi virus saja, karena sakit saat pandemi begini pastilah ada kekhawatiran. Tentu saja aku sangat berharap ayah ibu tidak terinfeksi covid-19. Namun begitu, aku masih biasa saja tidak memakai masker saat merawat ayah ibu disana. Sehari kemudian, aku merasa badanku linu, aku pikir karena kecapekan saja karena aku bolak balik mengurus dua rumah dan terpaksa aku pamit pulang bersama anak2 karena aku tidak mau malah bapak dan ibu melihatku sakit, dan benar, malamnya aku demam, dan ada tanda2 flu. Aku memantau kesehatan ayah ibu hanya via HP saat itu, karena aku malah flu berat. Beberapa hari kemudian disusul anak2ku demam dan sakit perut, namun alhamdulillah mereka segera sembuh.
Setelah beberapa hari minum obat sampai habis, ayah masih belum merasa mendingan, malah semakin pusing dan nafasnya agak berat. Lalu kami tawarkan ayah untuk dirawat di RS, alhamdulillah ayah mau dan sore diantar suamiku berdua ke IGD RS karena aku masih tidak enak badan. Disana ayah langsung screening prosedur Covid-19. Hasil rapid test ayah non reaktif, tetapi hasil rontgent paru2 tidak bagus, ada bercak2 putih dan menurut perawat (karena belum bertemu dokter saat itu) ada indikasi TB. Ayah dirawat di ruang non isolasi. Semalam disana, kondisi belum membaik dan diputuskan untuk dipindah ke ruang isolasi malam itu juga. Ayah menolak karena kemarin hasil rapid test non reaktif, takut dengan ruangan isolasi bercampur dengan pasien yang positive Covid-19. Dokter menyarankan untuk swab pagi hari berikutnya. Tetapi ayah menolak dan memilih pulang malam itu juga, meskipun kami sudah berusaha membujuk untuk tetap dirawat di RS. Akhirnya ayah pulang malam dan bermalam di rumah semalam.
Pagi harinya kami ajak ayah untuk melanjutkan berobat karena kondisi nafasnya makin berat. Ada tabung oksigen kecil milik suamiku (karena suamiku pasien gagal ginjal), tapi ukurannya kecil dan hanya 3 jam saja sudah habis. Jadi, kami bujuk ayah untuk diperiksa ulang di RS yang berbeda, untuk mencari second opinion, siapa tahu diagnosis dokter berbeda dan bisa tertangani segera dengan baik karena ayah terlihat pucat dan sesak nafas, tidak tega kami melihatnya... Pagi itu ayah aku suapi hanya mau makan 5 suap saja, itupun bubur telor yang tidak mengenyangkan. Aku yang masih dalam kondisi flu berat dan suamiku mengantar ayah ke RS kedua.
Setelah sampai di RS, ayah diperiksa di IGD, screening Covid-19 juga dari awal. Kami sama sekali tidak membawa data dari RS pertama karena kami ingin pemeriksaan diulang dari awal. Setelah menunggu beberapa jam, hasil pemeriksaan keluar. Hasil rapid test ayah masih non reaktif, dan rontgent paru2 ayah memang tidak bagus, sama dengan hasil pemeriksaan dari RS pertama. Kali ini saya bertemu langsung dengan dokter di IGD dan dijelaskan langsung di depan komputer, melihat data hasil test darah dan rontgent ayah. Dokter mengatakan hasil test darah ayah secara umum bagus, hanya memang ada sesuatu yang menunjukkan adanya infeksi. Hasil rontgent paru2 juga dijelaskan, aku diperlihatkan bagaimana kondisi paru2 normal dan milik ayah. Sedih rasanya melihat hasilnya, ketika dokter menjelaskan ayah memang harus dirawat isolasi.
Kemungkinan terinfeksi Covid-19 ada, tetapi aku tetap tidak tega melihat ayah menderita di atas bed IGD berjam-jam dari jam 8 pagi, aku tetap berusaha ada di samping beliau, menenangkan beliau dengan memberikan semangat pikiran positive untuk sembuh, memijit kakinya, memberikan terapi minyak kayu putih di hidungnya, menyuapi dan memberikan minum, mengantarkan ke kamar mandi, menemani di ruang isolasi IGD sebentar karena ayah akhirnya bisa tertidur disitu. Kami disuruh menunggu proses persiapan untuk masuk ke kamar isolasi sampai hampir jam 3 sore masih belum selesai. Aku dan suamiku menunggu di kursi dekat IGD sementara ayah sedang istirahat tidur sebentar di kamar isolasi IGD. Tiba2 sekitar jam 3.30 sore ada seorang ibu yang memanggil kami menanyakan apakah bapak yang sedang dimasukkan di ambulance adalah keluarga kami. Langsung kami berlari melihat ayah sudah didorong di kursi roda dan masuk ke ambulance, dengan jejak ayah disemprot2 desinfektan... Makin pecah tangisku saat itu...
Aku melihat ayah masuk ambulance dan sudah tidak boleh ditemani lagi. Ayah di dalam sendirian bersama seorang perawat dengan APD lengkap yang duduk di depan. Aku dan suamiku langsung bergerak cepat menyiapkan barang2 bawaan kami di mobil yang akan dipakai ayah selama dirawat di ruang isolasi. Kami mengejar ambulance sampai di ruangan isolasi. Saat ayah turun dari ambulance, alhamdulillah aku masih bisa kejar beliau dan memberikan semangat lagi, ingin rasanya memeluk tapi tidak diperbolehkan... Aku hanya sempat berfoto selfie dengan jarak dan aku kirimkan ke keluarga untuk minta didoakan. Setelah ayah masuk ke ruang isolasi bersama perawat, aku dan suamiku menata barang2 bawaan sambil diberikan edukasi oleh perawat yang lain.
Selama di ruang isolasi, alhamdulillah ayah dapat berkomunikasi dengan perawat menggunakan HP. Kamipun meminta nomor HP perawat untuk memantau kondisi ayah dari rumah. Paginya, Senin, 28 Desember 2020 ayah menjalani test swab PCR. Hasilnya diterima 3 hari kemudian. Pada hari Rabu, 30 Desember 2020 hasil swab ayah keluar, ternyata beliau terkonfirmasi positive Covid-19. Astaghfirullah... Tidak karuan rasanya saat mendengar berita itu, lemas rasanya. Aku berusaha tenangkan dan tetap memberikan semangat ayah meski via HP agar kondisinya tidak memburuk. Aku berikan semangat dan cerita2 tentang pengalaman teman2 dan tetanggaku yang sembuh dari Covid-19. Ayah harus melanjutkan isolasi di RS selama 10 hari. Pagi itu juga, Rabu 30 Desember 2020 aku langsung melakukan swab antigen. Hasilnya langsung dapat diketahui, positive. Aku sudah pasrah. Kondisiku saat itu masih flu berat. Aku ikuti saran dari tenaga kesehatan disana, aku diberikan vitamin dan obat untuk mengatasi gejala yg aku alami.
Otomatis aku harus menjalani isolasi mandiri. Suamiku sebelumnya sudah melakukan test swab antigen untuk kepentingan cuci darah. Alhamdulillah suamiku selalu menjaga protokol kesehatan 3M, hasilnya swab antigennya negative, kondisi kesehatannya harus ekstra dijaga. Alhamdulillah suamiku masih tetap bisa melakukan cuci darah seperti biasanya tanpa harus diisolasi. Kami berpikir bagaimana caranya melalui ini semua? Suamiku mempunyai komorbid gagal ginjal dan harus serumah denganku yang positive Covid-19. Tetapi selama sebelum mengetahui test swab antigenku positive, kami hidup serumah tidak masalah, karena suamiku tetap menjaga jarak, memakai masker, rajin cuci tangan. Memang benar, hal ini yang aku ingin tekankan kepada pembaca semuanya, tentang pentingnya menjaga prokes 3M itu. Sangat penting.
Kami tetap tinggal serumah, aku mengisolasi diriku di kamar. Suami dan anak-anak tidur di kamar yang lain. Aku hanya keluar kamar seperlunya, selalu memakai masker dan fokus untuk tidak memegang apapun yang tidak aku butuhkan. Handsanitizer selalu di tangan, karena takutnya tidak sempat cuci tangan sudah pegang sesuatu. Kami selalu menjaga prokes 3M di rumah. Meskipun begitu, aku masih belum yakin dengan hasil test swab antigenku yang positive, barangkali saja hanya flu biasa. Aku membaca beberapa informasi tentang perbedaan swab antigen dan swab PCR. Disana tertulis jika hasil swab antigen positive, sebaiknya dikonfirmasi dengan test swab PCR yang paling akurat (Gold Standard). Aku melakukan test swab PCR pada hari Senin, 4 Januari 2020 bersama suami dan ibuku.
Lima hari kemudian, hasil test swab kami keluar. Ibu dan suamiku alhamdulillah negative (Masha Allah... Alhamdulillah... sekali lagi, protokol kesehatan 3M memang penting dijaga), sedangkan aku memang terkonfirmasi positive Covid-19 dan disarankan untuk melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Aku pasrah. Aku tidak menyesali kondisiku merawat ayah. Aku yakinkan diriku semuanya akan baik-baik saja. Aku terus berdoa untuk segera sembuh dan ayah juga segera pulih seperti sediakala...
Selama isolasi, aku mengkonsumsi buah-buahan kaya vitamin C, madu, habbatussauda, jamu, suplemen makanan, vitamin C dan multivitamin. Saat ada sinar matahari aku berjemur setiap pagi. Aku minum teh dengan ditetesi minyak kayu putih 2 kali sehari, dan anehnya aku sama sekali tidak merasakan getir sengirnya rasa minyak kayu putih yang aku minum. Aku kehilangan sensitivitas indra penciuman. Bahkan ada bau sangat menyengatpun aku tidak tahu. Aku mencuci muka dan mandipun aroma sabun terdistorsi, baunya berbeda dari biasanya. Bahkan aku memakai parfum juga harumnya tidak terasa.
Aku mencari informasi tentang gejala ini. Ternyata anosmia. Tenaga kesehatan yang memantauku selama aku isolasi kebetulan adalah teman SMPku dulu. Dia menyarankanku untuk melatih indra penciumanku dengan beberapa jenis bau2an yang berbeda setiap hari. Ada teman seprofesiku yang menyarankan untuk makan bawang putih. Aku coba ikuti semua saran mereka. Selama seminggu lebih aku menderita anosmia. Aku terus berusaha berjuang untuk mengembalikan penciumanku. Temanku bahkan akan merujukku ke dokter paru2. Alhamdulillah pelan2 aku mulai bisa mencium aroma yang aku dekatkan di hidung. Minyak kayu putih tidak pernah jauh dariku. Alhamdulillah semakin hari penciumanku semakin membaik.
Besok pagi masa karantinaku selesai, lega rasanya alhamdulillah kondisiku secara umum semakin membaik, indra penciuman selama ini aku rangsang dengan bau2an yang berbeda, dan aku paksa makan bawang putih mentah (jangan ditanya rasanya wow luar biasa mau muntah). Alhamdulillah Masha Allah... paginya aku mencium bau tidak sedap dari got lingkungan rumah, yang beberapa hari lalu aku sama sekali tidak tahu saat suamiku menyemprot ruangan dengan pengharum ruangan karena ada bau itu. Pada hari ini aku sudah mulai merasakan penciumanku kembali. Terimakasih Ya Allah... Besok pagi aku swab antigen semoga hasilnya sudah negative... Aaamiin...
Comments
Post a Comment